(Foto: Resa Esnir)
Pada masa awal kerja sama untuk menyusun panduan tentang partisipasi masyarakat, Ombudsman melihat partisipasi sebagai upaya sosialisasi informasi sedang Yappika memaknainya menjadi pelibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan. Ada perbedaan dan keduanya sepakat mencari jalan tengah sampai tercapai kesamaan persepsi tentang partisipasi, yaitu sebagai ruang-ruang proses di mana warga terlibat dalam pengambilan keputusan.
(Foto: YAPPIKA)
“Kami berhasil menyusun panduan partisipasi masyarakat dalam pencegahan maladministasi pelayanan publik di lingkungan Ombudsman RI,” kenang Riza Imaduddin Abdali, Program Officer Yappika untuk MAJu. Proses panjang yang membutuhkan waktu sekitar setahun dan setelah terwujud sebagai panduan, berhasil pula ditingkatkan menjadi Peraturan Ombudsman RI No.41/2019 tentang Tata Cara Pencegahan Maladministrasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik. “Akhirnya memang ketemu perspektifnya, yaitu keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan,” tutur Riza.
(Foto: YAPPIKA/ Riza Imaduddin Abdali [kiri])
Di Tasikmalaya, DPC Peradi bersama Lakpesdam NU mendampingi umat Ahmadiyah dalam kerja-sama dengan perangkat desa, yang berhasil menciptakan iklim sehari-hari yang inklusif bagi warga Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), termasuk untuk kepentingan praktis, seperti pencatatan pernikahan. Para warga di Kersamaju, salah satu dampingan DPC Peradi, sempat tidak bisa mencatatkan pernikahan karena harus lebih dulu menandatangani pernyataan ‘bukan umat JAI’ namun sejak Juni 2020 pernyataan itu sudah diubah menjadi ‘Muslim sesuai KTP dan KK’ yang berarti juga menerima komunitas Ahmadiyah.
(Foto: Peradi Tasikmalaya/ Andi Ibnu Hadi)
(Foto: Kegiatan Peradi Bersama Laksmadu NU )
(Foto: Kegiatan Peradi Bersama Laksmadu NU )“Prosesnya cukup panjang dan lama,” kata Andi Ibnu Hadi, Ketua DPC Peradi Tasikmalaya mengenang kerja mereka di Desa Kersamaju yang berawal dari obrolan lepas dengan Kepala Desa, yang pelan-pelan bisa mengidentifikasi pihak penentang Ahmadiyah maupun yang bersikap terbuka. “Kami pelajari benang-benang hubungan aparat desa dan masyarakat yang dijadikan dasar dalam kerja-sama untuk menciptakan kondisi baru,” tambah dalam naungan program MAJu. Kepala Desa pun bisa diyakinkan untuk menjamin inklusi sosial, antara lain membuat surat edaran untuk menghindari persekusi atas JAI.” Andi. DPC Peradi Tasikmalaya akhirnya berhasil mengajak beberapa perangkat desa untuk mengikuti diskusi-diskusi yang digelar
(Foto: Kegiatan Peradi Bersama Laksmadu NU )
Di sisi lain, DPC Peradi Tasikmalaya perlu pula menjalin kerja-sama dengan JAI agar lebih membuka diri. “Ada ketidakpercayaan mereka pada NGO karena dari dulu ada NGO tapi KTP masih juga belum ada,” tutur Andi. Sementara pemerintah kabupaten sampai pemerintah desa cenderung tunduk pada kelompok besar atau mayoritas demi menjaga keamanan dan keselamatan desa dalam perspektif sepihak. Maka warga JAI memilih untuk menghindari urusan hukum walau banyak kasus diskriminasi yang mereka alami.
(Foto: Kegiatan Peradi Bersama Laksmadu NU )
(Foto: Kegiatan Peradi Bersama Laksmadu NU ) Lewat berbagai penjelasan langsung dan juga rangkaian diskusi, dicapai juga perubahan paradigma di kalangan umat Ahmadiyah, yang melihat upaya hukum menjadi salah satu peluang untuk menghentikan diskriminasi. “Misalkan seperti warga JAI di Kersamaju yang pernikahannya tidak dicatatkan Negara. Dulu tidak ada kemauan untuk menempuh jalur litigasi, sekarang mulai tumbuh kesadaran dan mau mencoba menempuh jalur litigasi,” kata Diana Setiadi, salah seorang paralegal JAI, yang mendapat pelatihan DPC Peradi Tasikmalaya dan MAJu. Sedang di desa Tenjowaringin, warga JAI sudah memiliki kesadaran untuk terus menjalin komunikasi intensif dengan pemerintah desa, polsek, polres, Kesbangpol, serta pejabat pemerintah Kabupaten Tasikmalaya lainnya.
(Foto: Kegiatan Advokasi Peradi Bersama Laksmadu NU )
(Foto: Kegiatan Peradi Bersama Laksmadu NU )
(Foto: Kegiatan Peradi Bersama Laksmadu NU )
(Foto: Kegiatan Peradi Bersama Laksmadu NU )
Pencapaian DPC Peradi Tasikmalaya dalam bekerja-sama dengan penerima manfaat masih diupayakan LBH Papua terkait akta nikah. Sejauh ini pernikahan adat belum diakui oleh pemerintah sehingga kantor Dukcapil tidak bisa memberikan akta nikah. “Dalam pernikahan adat tidak ada produk tertulis yang dihasilkan. Hanya bersifat lisan dan disaksikan oleh para saksi,” jelas Emanuel Gobay, Direktur LBH Papua. Jadi upaya pengakuan pernikahan adat terhambat oleh formalitas pencatatan semata.
(Foto: ALDP Papua)
Kini LBH Papua menggalang kerja-sama dengan para tetua adat dan sesepuh masyarakat setempat dengan menekankan prinsip yang sudah diterapkan Kementerian ATR/BPN dalam sertifikat tanah. “Dengan adanya surat pelepasan tanah adat, yang merupakan produk adat yang dikeluarkan dewan adat atau kepala suku, maka ATR/BPN akan melakukan pengukuran sehingga terbitlah sertifikat hak milik. Itulah inspirasi kami,” kata Emanuel. Pada prinsipnya, tambah Emanuel, kantor Dukcapil siap untuk menerima pencatatan pernikahan adat, yang bukan hanya bersifat lisan saja, sebagai dasar untuk akta nikah.
(Foto: ALDP Papua)
“Ini akan menjadi unsur baru dalam institusi adat. Tapi sebenarnya sudah dilakukan dalam surat pelepasan tanah adat, yang sebelumnya juga tidak ada,” alasan Emanuel atas optimismenya untuk meniru hal yang sama. Dengan pencatatan atas pernikahan adat atau surat keterangan tentang pernikahan adat, maka institusi adat sekaligus diberdayakan untuk ikut membantu pembinaan kehidupan rumah tangga yang sejahtera, bukan sekedar menyaksikan perkawinan dan perceraian semata. Bersama MAJu yang didukung oleh USAID, LBH Papua tahun ini melakukan konsolidasi kolaborasi tahap kedua, setelah serangkaian diskusi dengan beberapa tetua adat dan tokoh pemerintah pada 2020 lalu.
(Foto: ALDP Papua) Membuka Ruang Kolaborasi Baru –
Lima tahun dukungan USAID dalam proram MAJu memberikan berbagai pengalaman yang membuktikan bahwa upaya merawat jejaring juga memicu kerja sama untuk ruang-ruang yang baru. Kolaborasi Yappika dan Ombudsman RI yang melahirkan Peraturan Ombudsman, misalnya, diawali lewat diskusi yang digelar oleh MAJu yang dihadiri berbagai pemangku kepentingan, termasuk anggota Ombudsman RI dan Yappika, yang sudah lama bekerja dalam isu pelayanan publik. MAJu berperan menjadi simpul jaringan yang menghubungkan para pemangku kepentingan. Sementara di dalam Program MAJu sendiri terjalin pula kolaborasi antara sesama mitra, seperti Yappika dengan GWL- INA dalam monitoring layanan kesehatan.
(Foto: YAPIKA)
Awalnya, pada tahun 2018, GWL-INA melakukan sendiri proses monitoring di wilayah Jabodetabek. Ternyata instrumen yang digunakan GWL-INA tersebut, menurut Yappika, masih belum cukup untuk kebutuhan komunitas dengan orientasi gender dan seksual berbeda. Maka para peer leader GWL-INA mendapat asistensi dari Yappika dalam menyusun alat untuk memantau layanan kesehatan. “Sampai saat ini kami menggunakan tools dua arah itu, bahwa yang dimonitoring bukan sekedar penyediaan layanan kesehatan saja tapi juga dari segi komunitas sebagai penerima manfaat,” kata Irfani Nugraha dari GWL-INA.
Kerja sama di kalangan sesama mitra di bawah payung MAJu juga dilakukan GWL-INA dan Perkumpulan Suara Kita dengan berbagai organisasi bantuan hukum untuk pendampingan kasus. Stigmatisasi dan diskriminasi membuat sejumlah kasus hukum komunitas dengan orientasi gender dan seksual berbeda tidak terselesaikan karena banyak juga kawan-kawan komunitas yang belum siap untuk mengungkap jati dirinya di hadapan publik atau aparat hukum. Mereka memilih untuk apatis tak bersemangat mengejar hak dasarnya daripada menderita stigmatisasi lebih lanjut.
(Foto: MAJu) Namun pendampingan dari LBH yang memiliki perspektif kesetaraan hukum dan gender, seperti LBH Masyarakat maupun LBH APIK Jakarta, berhasil mengangkat keyakinan komunitas ini untuk menempuh proses hukum. “Teman-teman transpuan selama ini selalu takut kalau berhadapan dengan polisi atau sekedar bertemu dengan hakim. Jadi kami membangun keyakinan, dan sangat terbantu oleh mitra-mitra yang bekerja di bidang hukum,” tutur Bambang Prayudi, yang pertama kali menyaksikan langsung persidangan di ruang pengadilan setelah berkolaborasi dengan OBH.
(Foto: MAJu)
Jelas tidak semua OBH bersedia untuk mendampingi kasus-kasus terkait isu komunitas dengan orientasi gender dan seksual berbeda, seperti yang pernah dialami GWL-INA. Tragisnya masih saja ada OBH yang membatasi kerjanya dalam penegakan hukum dengan tidak menyentuh isu dari komunitas ini. “Bukan masalah afiliasi mereka dengan donor maupun lembaga keagamaan tapi masalah nilai yang diusung sebagai sebuah organisasi,” papar Irfani Nugraha mengenang satu OBH di Bekasi yang menolak membantu pendampingan kasus kesetaraan seksual dan gender.
(Foto: Resa Esnir)
Dengan bergabung dalam simpul MAJu yang didukung USAID, ada upaya bersama yang serius untuk menyamakan persepsi dan gerakan di bawah payung MAJu. “Berdasarkan pengalaman para mitra, kolaborasi antar pemangku kepentingan selain bisa mereduksi stigma, juga membuka ruang baru atau kanal-kanal baru untuk advokasi. Misalnya kolaborasi GWL-INA dengan Yappika membuka ruang untuk advokasi ke Ombudsman,” jelas Renata Arianingtyas, Chief of Party MAJu, The Asia Foundation Indonesia.
(Foto: MAJu)
Berangkat dari kerja sama dalam monitoring pelayanan kesehatan, Yappika dan GWL-INA maju memperjuangan isu anak dengan HIV bersama LBH Masyarakat yang juga merupakan mitra MAJu serta Lentera Anak Pelangi. Kolaborasi itu melaporkan kasus maladministrasi terkait ketersediaan obat ARV untuk anak ke Ombudsman RI meskipun akhirnya ditolak. “Namun membangun jaringannya, menurut saya luar biasa baik. Kami saling melengkapi satu sama lain dan juga berjejaring dengan mudah,” kata Riza Riza Imaduddin Abdali. Kini, kolaborasi itu sedang menyusun policy brief untuk Kementerian BUMN agar perusahaan negara bisa memproduksi obat ARV khusus untuk anak, karena ARV yang tersedia di Indonesia saat ini tidak ramah buat anak.
(Foto: Antiek Firdausi Putri)
(Foto: MAJu)
Sedang pengalaman LBH Semarang dalam pendampingan jemaat Gereja Baptis Indonesia (GBI) Tlogosari di Semarang menyiratkan pola kolaborasi ‘tidak langsung’ untuk isu minoritas agama, khususnya penentangan atas pembangunan gereja. GBI memerlukan waktu 20 tahun lebih untuk bisa mendirikan gereja walau sudah mendapat IMB sejak tahun 1998. Akhirnya, pada Sabtu 24 Oktober 2020, jemaat GBI Tlogosari mengawali pembangunan gedung gerejanya dengan doa bersama bertajuk ‘Selamatan Kebangsaan’, yang dihadiri oleh berbagai kalangan masyarakat umum dan pemerintah.
(Foto: Dok LBH Semarang) Penentangan pembangunan gereja oleh sekelompok umat intoleran itu sempat memicu saling kecurigaan yang meluas sampai pendeta GBI memerlukan waktu sebelum membuka diri untuk berkomunikasi dengan LBH Semarang. Dalam pendampingannya, LBH Semarang, bersama jaringannya, membangun komunitas Persaudaraan Lintas Agama (PELITA), yang menjadi pihak terdepan dalam melakukan advokasi untuk GBI. “Beberapa jaringan termasuk LBH Semarang menginisiasi perlunya satu wadah yang bisa merespon situasi intoleran di Semarang, namun sekarang PELITA sudah meluaskan jangkauannya, tidak hanya terbatas di Semarang,” jelas Eti Oktaviani, Direktur LBH Semarang.
(Foto: Dok Dhana Kencana)
(Foto: Dok LBH Semarang)
Komunitas PELITA terdiri dari berbagai tokoh agama, sesepuh masyarakat, maupun individu yang memiliki perspektif dan komitmen terhadap perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB). Dengan komposisi itu, PELITA lebih mudah diterima oleh pemerintah daerah dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). “Karena selama ini berbagai elemen PELITA tidak pernah ‘head to head’ dengan Pemda, bukan seperti LBH Semarang, yang langsung berhadapan. Dalam konteks tersebut, LBH Semarang mengambil peran sebagai ‘think tank’ dan tidak perlu muncul,” tambah Eti Oktaviani. Pola kolaborasi ‘tidak langsung’ yang sepertinya membantu meredam situasi frontal, yang jelas tidak produktif dalam satu kerja bersama.
(Foto: Dhana Kencana) Jembatan Para Champion –
Tak bisa dipungkiri bahwa peran individu yang punya perspektif kesetaraan hukum berperan penting dalam kolaborasi mitra MAJu dengan lembaga pemerintah maupun semi-pemerintah. Mereka adalah para champion yang berperan besar dalam memicu satu kolaborasi. Melalui salah satu mitranya, misalnya, Suara Kita berhasil terhubung dengan Direktur Jenderal Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil, Prof Zudan Arif Fakrulloh. “Kami mendapat durian runtuh, bertemu dengan pejabat pemerintah yang dari awal sudah terbuka dan langsung mau membantu,” jelas Bambang Prayudi. Dan sejumlah kawan-kawan komunitas Suara Kita pun bisa mendapatkan KTP, yang menjadi wujud nyata pengakuan negara atas teman-teman transpuan dan transgender, hingga akhirnya keluar Surat Edaran Menteri Dalam Negeri untuk Perekaman e-KTP bagi transgender.
(Foto: Perkumpulan Suara Kita)
(Foto: Perkumpulan Suara Kita) Pengalaman serupa dialami Yappika ketika bekerjasama dengan Ombudsman Republik Indonesia. Keterlibatan langsung anggota Ombudsman, Alamsyah Saragih, yang pernah menjadi salah seorang anggota dewan pengawas Yappika membantu proses kerja sama keduanya. “Untuk konsep dan perspektif kami senafas walau sering juga berbeda, seperti ketika kami melaporkan satu kasus administrasi dan ditolak Pak Alam (komisioner Ombudsman periode tahun 2015-2020),” kata Riza Imaduddin Abdali. Keberadaan champion yang terbukti menjembatani peluang-peluang perbedaan persepsi, yang menghambat gerak maju sebuah kolaborasi.
(Foto: YAPPIKA)
Dalam isu pembangunan gereja di Semarang dan Jawa Tengah, pendeta ‘penyintas’ dari GBI Tlogosari, yang menjadi jembatan penghubung antara jemaat yang menghadapi isu serupa dengan LBH Semarang. Setelah pendampingan GBI Semarang, LBH Semarang juga ikut berjejaring membantu Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) Dermolo yang sudah bisa beribadah di gedung gereja sendiri pada awal April 2021, setelah menghadapi penolakan selama 19 tahun. Kini ada lima gereja lain yang sedang dalam pendampingan LBH Semarang karena menghadapi penolakan pendirian atau penggunaan rumah ibadah. “Kami bekerja bersama pendeta di GBI sebagai ‘penyintas’ karena berhasil keluar dari kondisi yang tidak nyaman dan tidak mengenakkan,” tegas Eti Oktaviani.
(Foto: Dok LBH Semarang)
Sebagaimana di banyak negara dengan demokrasi yang relatif baru, isu kesetaraan hukum memerlukan kerja keras yang konsisten, plus kehati-hatian untuk menjaga janin yang ringkih bisa kelak tumbuh membesar dan menguat. Walau Ditjen Dukcapil sudah melangkah maju dalam menerbitkan KTP bagi komunitas transpuan, misalnya, tak berarti komunitas segera melakukan advokasi untuk perubahan identitas seksual di KTP yang saat ini masih terbatas pada laki-laki dan perempuan. Ada kesadaran di kalangan komunitas bahwa keragaman seksual dan gender di KTP masih tergolong sensitif. “Jadi perjalanan yang masih sangat panjang,” kata salah seorang anggota komunitas.
(Foto: Resa Esnir)
Perjalanan panjang dari kerja keras yang bukan hanya menyangkut komunitas dengan orientasi gender dan seksual berbeda, juga kaum-kaum termarjinalkan lain, seperti umat agama minoritas, maupun kelompok rentan yang masih terancam kekerasan di dalam rumahnya sendiri. MAJu bersama mitra-mitranya memang belum mewujudkan keadilan hukum yang sempurna namun terbukti melangkah maju dengan sejumlah capaian, lengkap bersama peluang dan tantangan di depan.
(Foto: MAJu)
Jadi kerja keras para mitra MAJu dan kecerdasan masih dibutuhkan dalam menjalin kerja sama untuk mendekati halangan-halangan yang masih nyata. “Saya rasa penting menghubungkan kerja-kerja kita dengan teman-teman dari organisasi yang berkaitan dengan tata kelola pemerintahan, good governance. Dalam advokasi anggaran, misalnya, sudah ada teman-teman lain yang mengurus,” tutur Sandra Hamid, The Asia Foundation Country Representative di Indonesia, dalam diskusi MAJu dengan para mitranya, awal Mei lalu.
(Foto: MAJu)
Kompleksitas informasi di era digital saat ini menyiratkan akan terlalu sulit bagi sebuah organisasi apapun untuk menangani berbagai hal secara bersamaan, apalagi menyangkut isu-isu yang terbentuk oleh konstruksi sosial selama puluhan tahun. Seperti kata peribahasa, “Jika kamu berpikir bahwa kamu mengetahui semuanya, berarti kamu tidak tahu apa-apa.” Maka kolaborasi antara sektor menjadi satu-satunya pilihan cerdas.
Apa artinya partisipasi? Sama seperti banyak kata lainnya, selalu saja terbuka kemungkinan masing-masing pihak mengartikannya secara berbeda. Perbedaan memaknai partisipasi itu dialami oleh Yappika, mitra USAID MAJu yang ingin mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis, ketika menjalin kerja sama dengan Ombudsman Republik Indonesia. Butuh waktu dan kesabaran dari kedua belah pihak untuk menengahi perbedaan persepsi itu guna mencapai tujuan bersamanya.
Demi Kesejahteraan Keluarga – Emanuel Gobay, Direktur LBH Papua
Pengalaman kami, jika terjadi kekerasan atas perempuan dalam rumah tangga atau kasus perzinahan maka polisi akan menolak laporannya karena tidak ada akta nikah. Kalau ini dibiarkan terus, maka suami bisa semakin besar kepala dan terus memukuli istri. Akta nikah juga perlu untuk pendidikan anak dan warisan bagi anak yang orang-tuanya PNS. Bagi pria yang poligami, maka anak-anak dari istri kedua yang tidak punya akta nikah, menjadi tak terlindungi. Kita bukan melegalkan polygami tapi tujuannya adalah melindungi istri kedua dan anak-anaknya dari penelantaran. Argumentasi itu kita sampaikan kepada semua pihak, bukan cuma Dukcapil dan polisi, juga para tetua adat dan tokoh-tokoh masyarakat. Tentunya mereka akan menerima karena niatnya bagus.
Bukti, Komitmen, dan Konsistensi – Riza Imaduddin Abdali, Program Officer Yappika untuk MAJu
Selain kerjasama dengan Ombudsman Republik Indonesia, kami juga mendorong Komnas HAM menyusun Standard Norma dan Peraturan Tentang Hak Atas Kebebasan Berkumpul dan Berorganisasi, yang kemudian disahkan oleh Rapat Pleno komisioner Komnas HAM. Pembelajaran terbesar dari dua kerjasama itu adalah data yang dimiliki atau bukti. Itu penting sekali. Kerja-kerja kami di Yappika adalah ‘evidence based’. Dalam kolaborasi dengan Komnas HAM, misalnya, kami sudah melakukan pemantauan serta evaluasi UU Ormas dan data dari tahun 2013 sampai 2018 disodorkan kepada komisioner Komnas HAM. Jadi data yang solid atau bukti kuat yang bisa dipertanggung-jawabkan menjadi amat penting karena tanpa bukti maka advokasi kebijakan akan menghadapi kesulitan. Sama halnya dengan Ombudsman. Pengetahuan, pengalaman, dan data yang dikumpulkan Yappika dalam konteks pelayanan publik selama lima tahun menunjukkan makna partisipasi adalah ikut masuk ke dalam ruang-ruang pengambilan keputusan. Sedangkan kalau cuma diberi informasi berarti baru sebatas sosialisasi saja. Data atau bukti tersebut kemudian diperkuat dengan komitmen dan konsistensi kerja. Orang akan melihat bahwa kalau kita punya komitmen dan konsisten maka bisa menghasilkan sesuatu.
Kolaborasi Masyarakat Sipil dan Pemerintah – Siti Mazumah, Direktur LBH APIK Jakarta
Situasi pandemi Covid-19 mengajarkan kita tentang pentingnya kerja sama. LBH APIK Jakarta memutuskan untuk punya rumah aman sendiri karena layanan ruman aman untuk perempuan korban kekerasan di DKI Jakarta mengharuskan surat bebas Covid-19 sementara perempuan korban harus dibantu segera. Belakangan rumah aman LBH APIK menjadi ajang kolaborasi dengan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan (P2TP2A) DKI Jakarta. Waktu itu ada beberapa perempuan korban kekerasan di layanan pemerintah yang positif Covid-19 jadi mereka merujuk kasus-kasus itu ke LBH APIK. Situasi yang menyusahkan kita semua tapi mengajarkan betapa pentingnya kolaborasi, berhubung P2TP2A menghadapi masalah besar berkaitan rumah aman pemerintah yang susah diakses oleh korban yang positif Covid-19. Belakangan Perda terkait rumah aman itu direvisi tapi pandemi mengajarkan kepada kita tentang kolaborasi masyarakat sipil dengan pemerintah untuk membantu komunitas. Kalau ada masalah dalam pemenuhan kebutuhan di lapangan, seperti pada pandemi misalnya, mau ke mana lagi kalau bukan ke masyarakat sipil.