Dengan dukungan United States Agency for International Development (USAID), Program Empowering Access to Justice, MAJu, mendekati ketimpangan sosial, stigmatisasi, dan diskriminasi dengan legal justice atau keadilan hukum, yang sering tak menyentuh kehidupan sehari-hari penerima manfaat MAJu. Bahkan sekedar keyakinan akan hak-hak dasar yang seharusnya dijamin negara saja, menjadi hal yang amat asing bagi sekelompok orang. Dalam beberapa kasus, keadilan hukum itu malah sengaja dihambat agar tidak mencapai perempuan korban KDRT, umat agama minoritas, maupun individu dari kelompok rentan lainnya.
Lima tahun berjalan, mitra-mitra MAJu berhasil mencapai komunitas akar rumput yang rentan maupun yang selama ini termarjinalkan. Hak-hak dasar warga negara yang tertulis sakral dalam konstitusi di puncak undang-undang dan hukum negara berhasil dibumikan menjadi perlindungan yang nyata. Menjadi paralegal, korban berhasil menjadi penyintas dan terutama menjadi pembela bagi komunitas marjinal lainnya. (Foto: Resa Esnir)
Jemaah Ahmadiyah di Tasikmalaya, Jawa Barat, yang bisa beribadah kembali setelah masjid dan musholanya sempat ditutup paksa, menjadi salah satu bukti kerja keras itu. DPC Peradi Tasikmalaya, mitra MAJu sejak tahun 2018, bersama Lakpesdam NU memberdayakan paralegalnya untuk mendampingi langsung masyarakat di empat desa: Sukapura, Tenjowaringin, Kersamaju, dan Sukaasih. Jika Lakpesdam NU berbasis inklusi sosial maka DPC Peradi, sejalan dengan Program MAJu, mengedepankan hak-hak dasar yang tidak pandang bulu.
(Foto: Peradi – Lakpesdam NU)
Dengan jaringan paralegalnya, DPC Peradi Tasikmalaya menggelar penyuluhan dan sosialisasi tentang hukum dasar dan hak sipil untuk komunitas Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) maupun yang non-Ahmadiyah. Salah satu catatan keberhasilan tersebut adalah keteguhan meyakinkan warga setempat bahwa umat JAI juga ingin terlibat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, seperti yang dilakukan Erna, paralegal JAI di Tasikmalaya. (Foto: Foto Komunitas JAI )
Erna mengenang pengajian desa yang dihadirinya bersama empat perempuan dari komunitas Ahmadiyah. Namun penceramah jutsru menyudutkan, menebar kebencian, dan bahkan kembali menegaskan kesesatan JAI di depan sekitar 200 jamaah pengajian. Namun Erna tidak menyerah dan meminta kepada tokoh agama desa untuk mengundang penceramah yang sejuk yang tidak menyesatkan kelompok lain. Pelan-pelan terjalin komunikasi dan rasa saling percaya, yang bukan hanya meredam potensi konflik, juga membuka ruang-ruang partisipasi baru pula.
(Foto: Peradi – Lakpesdam NU)
Bersama dengan empat warga JAI lainnya, Erna antara lain diminta bergabung dalam panitia Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Hampir semua kegiatan desa kini melibatkan komunitas Ahmadiyah, termasuk salah seorang yang diminta menjadi petugas penyalur BPNT (Bantuan Pangan Non-Tunai). Sementara di desa Sukaasih, warga Ahmadiyah dilibatkan dalam musyawarah desa untuk membahas keputusan-keputusan tentang kehidupan keseharian. JAI bukan lagi ‘musuh’ yang harus dilumpuhkan, tapi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan bersama kita semua.
(Foto Penyuluhan Hukum JAI)
Sering sekali komunitas yang tersingkirkan maupun yang menderita stigmatisasi bersikap curiga dengan kehadiran ‘orang luar’ sekalipun yang ingin membantu mereka. “Praktek keamanan di Papua sering menambah luka dan menimbulkan kecurigaan pada orang baru,” kata Emanuel Gobay, Direktur LBH Papua, salah satu mitra MAJu di Papua. Namun LBH Papua tetap membuka kesempatan untuk semua pihak menjadi paralegal-nya. “Kami melakukan diskusi publik dan training untuk mendapatkan calon paralegal dari entitas luar karena warga akhirnya akan tahu bahwa mereka ingin membantu,” tambah Emanuel.
(Foto: MAJu/Pelatihan Paralegal Papua)
Keragaman latar belakang paralegal, yang sejalan dengan prinsip non-diskriminatif, juga membuat meluasnya pemahaman isu-isu yang dihadapi masyarakat. LBH Papua, misalnya, mendekati mahasiswa, nelayan, guru, maupun komunitas dengan orientasi gender dan seksual berbeda. “Isunya menjadi meluas dan kami mencoba masuk ke semua elemen, seperti anak-anak jalanan dan yang berada dalam posisi rentan lainnya,” kata Emanuel. Kini komunitas keragaman seksual dan gender di Papua bahkan sudah memiliki paralegal dari kalangan sesama mereka sendiri.
(Foto: MAJu/Pelatihan Paralegal Papua/Audensi Dengan Pemuda)
Tantangan Kompleksitas Isu – Bagaimanapun tak bisa diabaikan hambatan apatisme di kalangan komunitas tertentu setelah termarjinalkan secara kultural, sosial, dan legal selama belasan atau puluhan tahun, seperti yang dialami oleh kaum dengan orientasi gender dan seksual berbeda. Dalam situasi tersebut, kisah keberhasilan sesama anggota komunitas menjadi motivasi yang kuat untuk memperjuangkan hak-hak dasarnya. Selain itu paralegal yang berasal dari sesama komunitas dengan orientasi gender dan seksual berbeda juga lebih paham pada isu-isu yang mereka hadapi, seperti pengalaman Gaya Warna Lentera (GWL-INA), mitra MAJu yang bergerak dalam.
“Perspektif kami mengenai paralegal adalah orang yang berasal dari komunitas itu sendiri,” jelas Irfani Nugraha, pegiat GWL-INA. Ada kekhawatiran bahwa paralegal yang bukan sesama komunitas akan lebih sulit dalam memahami kompleksitas isu, yang tersusun oleh konstruksi sosial, ajaran agama, dan tradisi kultural. “Mereka juga menjadi tidak konsisten dalam membela hak-hak komunitas,” tambah Irfani. (Foto: Resa Esnir)
Dari RT ke Dukcapil: Irfani Nugraha, GWL-INA – Banyak Ketua RT yang tidak segan melakukan pengusiran ketika tahu warga yang tinggal di lingkungannya adalah transpuan. Paralegal kami mencoba mengedukasi RT dan RW mengenai keragaman seksual dan gender, bahwa teman-teman juga warga negara dan memiliki hak untuk bisa mendapatkan surat-surat kependudukan yang menjadi hak dasar. Pendekatan itu yang dilakukan. Memang tidak semuanya berhasil namun setidaknya ada beberapa wilayah yang bisa dijadikan percontohan, seperti di Pangkalan Bambu, tempat kami bisa berbicara dengan mudah bersama RT dan RW sampai tingkat kecamatan untuk difasilitasi ke Dukcapil daerah. (Foto: Resa Esnir)
Bahkan ketika mengandalkan jaringan-jaringannya di tiap wilayah untuk merekomendasi calon paralegal yang akan dilatih, GWL-INA masih menghadapi masalah kesinambungan komitmen. Dari puluhan paralegal yang dilatih -baik sebagai peer leader yang fokus pada layanan kesehatan dan sosial serta peer advocate untuk proses pendampingan serta penanganan kasus- hanya segelintir saja yang bertahan aktif dalam melakukan advokasi. “Kami jadinya mencari sendiri champion-champion yang tidak terafiliasi dengan organisasi manapun dan sudah bekerja di komunitas wilayahnya,” tutur Irfani.
Sedang di Perkumpulan Suara Kita, mitra MAJu yang juga bekerja untuk isu yang serupa, paralegal direkrut dari beragam latar belakang. Keragaman itu menjanjikan meluasnya jangkauan advokasi penyadaran tentang kesetaraan hak ke berbagai komunitas masyarakat umum, namun keragaman itu sekaligus pula membutuhkan pelatihan tambahan atas isu utama. “Dalam perjalanannya, ada kesulitan karena mereka belum terpapar dengan isu-isu yang kami advokasi secara lebih mendalam, hanya terbatas dengan yang ada di media sosial dan media umum. Itu jadi tantangan,” kenang Bambang Prayudi, Koordinator Nasional Perkumpulan Suara Kita. (Foto: Resa Esnir)
Awalnya banyak calon paralegal yang, misalnya, berpegang pada stigma bahwa komunitas keragaman gender dan seksual bisa menularkan dan menjadi sumber HIV maupun yang melihat orientasi seksual yang bukan heteroseksual tergolong sebagai penyakit seksual. “Menghadapi stigma seperti itu, kami memberikan penjelasan sederhana dengan contoh sehari-hari,” tambah Bambang. (Foto: Doc Bambang Prayudi)
(Foto: Komunitas Suara Kita)
Sementara itu dalam beberapa kegiatan paralegal yang difasilitasi MAJu, seperti Temu Nasional Paralegal 2018 di Yogyakarta, dengan sengaja paralegal dari kelompok-kelompok yang berbeda dipertemukan dalam forum untuk berinteraksi . Proses saling mengenal dengan dialog yang intim bukan hanya menghapus stigmatisasi, juga menjadi forum edukasi langsung atas isu-isu keragaman gender dan seksual. Contoh nyata sehari-hari itu diperkokoh lagi dengan rangkaian diskusi sebagai tempat bertanya dan sekaligus saling berbagi pengetahuan.
(Foto: Komunitas Suara Kita)
Saat advokasi ke lapangan, Suara Kita tidak langsung terfokus pada hak-hak hukum dasar, namun tentang ‘bagaimana memanusiakan manusia’, yang menjadi inti dari advokasinya. Dalam obrolan dengan seorang Ibu RT yang menyadari anaknya memiliki orientasi seksual berbeda, contohnya, maka bukan kesetaraan hukum yang dijamin negara yang menjadi temanya. “Pertanyaan pertama kami adalah apakah anak ibu beda dengan anak yang lain? Jadi kami membuka ruang-ruang yang sederhana sekali, Ini kan antara ibu dan anak,” kenang Bambang Prayudi.
Atau Pendeta Mercy Anna Saragih, yang menjadi salah satu ujung tombak advokasi Suara Kita menjangkau komunitas Kristen. Pendeta Mercy sering mendapat pertanyaan tentang komunitas dengan keragaman gender dan seksual dari umat gerejanya dan meminta bantuan Suara Kita karena ingin pendekatan yang lebih humanis atas komunitas itu, jadi bukan hanya berdasarkan ajaran agama. “Tidak hanya orang dengan dengan keragaman gender dan seksualitas saja yang bergumul tapi pengalaman saya adalah keluarga juga mempunyai pergumulan yang amat berat,” tutur Pendeta Mercy dalam sebuah video kesaksian Suara Kita, “Saya ingin berbuat, menolong, dan mendampingi teman-teman, dan juga keluarga mereka dalam pergumulan itu,” tambahnya. (Foto: Komunitas Suara Kita)
Perencanaan Advokasi Paralegal – Dalam penanganan kasus KDRT, para korban menjadi salah satu yang membutuhkan penguatan dari paralegal. Kenyataannya masih banyak perempuan yang menderita kekerasan yang belum berani untuk melaporkan kasusnya, baik karena takut diancam pelaku atau menganggap KDRT sebagai isu privasi, maupun yang tak punya kemandirian ekonomi begitu diusir suaminya, yang melakukan kekerasan. “Jadi kita lakukan kampanye offline maupun online supaya kelompok rentan yang mengalami kekerasan mengetahui bahwa yang mereka alami adalah sebuah bentuk kekerasan,” kata Tuani Marpaung, anggota LBH APIK Jakarta, mitra MAJu yang bekerja untuk sistem hukum yang adil gender. (Foto: Doc Komunitas Suara Kita)
Beranjak dari pengetahuan bahwa kekerasan di dalam rumah tangga dilakukan oleh suami atas istri atau ayah kepada anak, maka paralegal LBH APIK Jakarta membuka jalan untuk mencari bantuan hukum maupun mendampingi pelaporan kasus ke kantor polisi. Di sisi lain, tugas paralegal juga untuk mengedukasi Ketua RT, RW, dan tokoh-tokoh masyarakat untuk memahami bahwa KDRT adalah kekerasan yang tidak bisa ditolerir dengan alasan budaya maupun agama. Penyebaran pengetahuan ke seluruh tataran masyarakat bukan hanya butuh kesabaran namun perencanaan yang matang.
Dan kerja paralegal dalam menyebar hak-hak dasar warga negara tanpa pandang bulu itu terwujud dalam beberapa Nota Kesepahaman antara paralegal dengan beberapa pemerintah tingkat kecamatan. Nota Kesepahaman yang dicapai dengan Kecamatan Bojong Gede, misalnya, menjabarkan tugas dari masing-masing pemangku kepentingan untuk menjamin perlindungan hukum atas kelompok orang miskin, khususnya perempuan dan anak. Dalam Nota Kesepahaman itu, komunitas paralegal menjadi mitra utama negara dalam menjamin hak-hak dasar. Hukum dilekatkan langsung ke dalam kehidupan masyarakat oleh sesama masyarakat, bukan hanya paksaan dari atas.
Salah satu upaya pemberdayaan komunitas paralegal yang dilakukan LBH APIK Jakarta adalah menyusun rencana tiga bulanan untuk melancarkan implementasi, sekaligus mempertajam proses evaluasi kelak. Salah satu rencana tiga bulanan dari komunitas paralegal LBH APIK Jakarta di Bogor, contohnya, mencakup sosialisasi bantuan hukum, pembaruan Nota Kesepahaman, pertemuan dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa terkait dana program Keluarga Sadar Hukum, serta diskusi tentang kebijakan perempuan dan anak. Sedang di Ciracas, rencana kegiatan mencakup advokasi identitas hukum (KTP, Akte Kelahiran, Buku Nikah), dan sosialisasi sadar hukum.
Di Surabaya, LBH Surabaya mendukung paralegalnya mendirikan Posko Bantuan Hukum, dengan tugas utamanya membantu penanganan kasus-kasus komunitas keragaman seksual dan gender walau juga menjangkau kasus-kasus di luar komunitas. Pada masa pandemi Covid-19, paralegal LBH Surabaya aktif melakukan advokasi menyangkut komunitas transpuan yang terjaring razia malam maupun yang tidak mendapat bantuan sosial. “Mereka adalah paralegal yang sudah mandiri untuk melakukan advokasi namun prakteknya berkoordinasi dengan kami untuk proses litigasi,” jelas Abdul Wachid Abdullah, Direktur LBH Surabaya.
Termasuk dalam proses litigasi yang butuh bantuan LBH Surabaya antara lain pengeroyokan transpuan yang diselidiki Polres Sidoarjo dan pencemaran nama baik seseorang yang memiliki orientasi seksual berbeda yang sudah ditangani penyidik Cyber Crime Polda Jatim. Jelas bahwa kerja keras paralegal yang berhasil membawa kasus-kasus itu ke ranah hukum. Pada akhirnya, seperti yang sudah dibuktikan oleh kerja paralegal mitra-mitra MAJu, hukum memang bukan urusan adu argumentasi pasal undang-undang di ruang sidang namun tentang jaminan berjalannya kehidupan sehari-hari rakyat tanpa gangguan dan tanpa pandang bulu. (Foto: Fully Syafi)
Kerja langsung paralegal bersama masyarakat sekitarnya kembali membuktikan bahwa edukasi sosial dengan model ‘jarum suntik’ yang searah tidak pernah efektif mencapai pemahaman yang tepat. Apalagi untuk komunitas yang tersingkirkan, termarjinalkan, dan yang mengalami stigmatisasi, dengan kompleksitas tekanan yang masih terus dihadapi. Kerja paralegal yang dilatih oleh para mitra MAJu menegaskan bahwa advokasi isu-isu sosial bukan sekali jalan tapi butuh kesabaran panjang dengan interaksi dinamis dari semua pemangku kepentingan, yang terus berbagi pengetahuan.
Dan berbagi pengetahuan itu menjadi dukungan utama MAJu bagi mitra-mitranya selama kerja lima tahunan belakangan. “Berkat Program MAJu, kami lebih aware pada isu-isu komunitas teman-teman dengan keragaman gender dan seksualitas berbeda. Kami pernah menangani isu itu namun tidak secara intensif dan dengan adanya program MAJu, teman-teman LBH memahami isu-isunya,” tutur Abdul Wachid Abdullah, Direktur LBH Surabaya.
Pengalaman yang juga dialami oleh LBH Semarang, mitra MAJu yang awalnya bergerak dalam isu sumber daya alam namun membuka diri untuk menyentuh isu-isu lain. “Yang maju itu adalah bahwa yang memimpin pos paralegal-nya adalah teman-teman komunitas sendiri,” tegas Eti Oktaviana, Direktur LBH Semarang. Kerja sama dengan MAJu pula yang mendorong isu perempuan menjadi isu strategis LBH Semarang yang terwujud dengan pembentukan divisi baru yang khusus menangani kelompok minoritas dan kelompok rentan. (Foto: Fully Syafi)
Melalu dukungan USAID, MAJu, selama lima tahun mengajak para mitranya ke keluar dari ‘zona nyaman’ yang diperlukan untuk melakukan terobosan dalam mewujudkan misinya: keadilan hukum untuk semua warga negara Indonesia. Misi yang jelas diemban oleh banyak pihak, termasuk oleh negara, namun dikerjakan oleh mitra-mitra MAJu dengan mengandalkan orang-orang yang hidup bersama masyarakat penerima manfaat.
Dari RT ke Dukcapil – Irfani Nugraha, GWL-INA
Banyak Ketua RT yang tidak segan melakukan pengusiran ketika tahu warga yang tinggal di lingkungannya adalah transpuan. Paralegal kami mencoba mengedukasi RT dan RW mengenai keragaman seksual dan gender, bahwa teman-teman juga warga negara dan memiliki hak untuk bisa mendapatkan surat-surat kependudukan yang menjadi hak dasar. Pendekatan itu yang dilakukan. Memang tidak semuanya berhasil namun setidaknya ada beberapa wilayah yang bisa dijadikan percontohan, seperti di Pangkalan Bambu, tempat kami bisa berbicara dengan mudah bersama RT dan RW sampai tingkat kecamatan untuk difasilitasi ke Dukcapil daerah.
Kepekaan dalam Pendampingan Kasus- LBH Semarang
LBH Semarang awalnya banyak terfokus pada sumber daya alam sebelum melembarkan advokasinya ke beragam isu, termasuk isu perempuan sebagai salah satu isu strategis. Selain itu sering pula dikenal dengan pendekatannya yang terbuka sehingga, seperti dituturkan Direkutr LBH Semarang, Eti Oktaviana, sering diasosiasikan sebagai ‘tukang gebuk’. Maka demi efektifitas mencapai tujuan, LBH Semarang tak selalu ikut tampil secara terbuka, seperti saat mendampingi permasalahan pembangunan Gereja Baptis Indonesia (GBI) Tlogosari. “Yang muncul adalah teman-teman Pelita (Persaudaraan Lintas Iman) dan tokoh-tokoh agama,” tutur Eti Oktaviani, Direktur LBH Semarang. Peran LBH Semarang merupakan think tank terkait strategi advokasi. “Itu menjadi pendampingan kasus yang memberikan pelajaran yang luar biasa,” tambah Eti. Apa yang ditempuh LBH Semarang itu mungkin menjadi gambaran tentang perlunya kepekaan dalam pendampingan kasus.